Pemerintah sebagai inisiator dalam pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset seharusnya didukung oleh DPR karena RUU tersebut memberikan kepastian hukum dan dasar hukum mekanisme perampasan aset pelaku kejahatan yang efektif dan efisien. Pernyataan ini disampaikan Wakil Rektor IV Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr. Septa Chandra, SH., MH., saat menjadi narasumber secara daring dalam program DIALEKTIKA TvMu yang bertajuk RUU Perampasan Aset: “Menanti Titah Para Dewa”, Minggu (09/04/2023).
“RUU Perampasan Aset mengatur mekanisme perampasan aset yang tidak perlu menunggu proses hukum normal dari penyelidikan, penyidikan, hingga putusan hakim yang inkrah. Perampasan aset yang tidak dapat dibuktikan seperti kasus Rafael Alun dapat dirampas tanpa melalui mekanisme pengadilan. Lebih lanjut, dalam RUU ini ada pembuktian secara terbalik dengan utuh, yang artinya harus membuktikan dari mana asal-usul seluruh harta milik pelaku. Ketika tidak bisa membuktikan asal-usulnya, maka harta tersebut dapat dianggap hasil dari kejahatan,” jelas Septa.
Septa juga mengutarakan faktor yang menghambat proses RUU Perampasan Aset menjadi UU adalah adanya political will. Menurutnya, perkataan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto kepada Menkopolhukam Mahfud MD terkait usulan pengesahan RUU tersebut pada rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023), bahwa mengenai pihak yang berkepentingan untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset harus terlebih dahulu melobi atasan para anggota legislatif, yaitu ketua umum partai politik merupakan praktek yang tidak baik dalam ketatanegaraan. Kepentingan politik seperti itu dapat menimbulkan stigma negatif di masyarakat.
“Saya berharap RUU Perampasan Aset dapat segera disahkan menjadi UU, karena RUU ini menjadi suatu kebutuhan apabila serius mengurusi negara dan me-recovery aset-aset hasil kejahatan pelaku. Tanpa RUU ini, penegakan hukum terhadap tindak pidana terkait aset dan harta milik negara di dalam maupun luar negeri tidak akan maksimal. Selain itu, diharapkan dapat menimbulkan kesadaran bagi para pelaku untuk melaporkan hasil kejahatannya tanpa melalui Jaksa Penuntut Umum dalam pembuktian tindak pidana awalnya seperti apa, sebagaimana Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” ujar Septa yang juga menjabat sebagai Dewan Pakar Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah.
Pada kesempatan yang sama, Ekonom Senior M. Fadhil Hasan, Ph.D. membahas mengenai realitas RUU Perampasan Aset dan pemberantasan korupsi termasuk ikhtiar pembangunan ekonomi di Indonesia. Ia mengutarakan bahwa yang terjadi di DPR merupakan suatu hal yang memprihatinkan karena DPR saat ini tidak mengikuti aspirasi masyarakat, tetapi ditentukan atau diarahkan proses legislasinya oleh partai politik terutama oleh ketua umumnya.
“Dalam pemilu selanjutnya kita harus identifikasi anggota DPR dari partai politik mana yang tidak membahas atau tidak pro terhadap pengesahan RUU Parampasan Aset. Kita hukum mereka dengan tidak dipilih lagi, karena mengikuti perintah Ketua Partai politik bukan aspirasi masyarakat,” himbau Fadhil. Lebih lanjut, menurutnya negara harus menyadari bahwa pembangunan ekonomi ke depan sangat ditentukan oleh sejauh mana negara dapat menghilangkan praktek korupsi yang berdampak pada perekonomian, sehingga nantinya keuntungan bisa didapatkan masyarakat dan negara tidak perlu lagi hutang ke negara lain.
Selaku narasumber terakhir, Ketua Bidang Studi dan Advokasi Kebijakan Publik LHKP PP Muhammadiyah Usman Hamid, SH., M.Phil., memberikan usulan terhadap pemerintah dan DPR mengenai polemik pemberantasan korupsi dengan RUU Perampasan Aset. Ia menyampaikan bahwa harus mulai memperbaiki kinerja dalam menjaga perekonomian negara, termasuk dengan memastikan secara nasional terjadi pemulihan aset dan rampasan aset. Lalu, secara global melakukan upaya-upaya untuk mendapatkan repatriasi aset-aset milik negara di luar negeri karena hasil korupsi.
Usman mengatakan bahwa dalam konsep pemberantasan TPPU dan juga perampasan aset, yang dikehendaki bukan hanya pelakunya yang dihukum saja tetapi aset tersebut dapat dikembalikan dan dipulihkan. “Ini bukan hanya aset korupsi, tetapi aset negara yang dikuasai oleh korporasi atau perusahaan swasta untuk dikelola tujuan bisnis, padahal tujuan utamanya diorientasikan untuk layanan umum atau masyarakat, yang berguna sebagai keuntungan perekonomian masyarakat dan negara, jadi bukan swasta,” tegas Usman.
Menurutnya, RUU Perampasan Aset adalah jawaban terhadap masalah hukum yang saat ini terjadi, termasuk pada celah-celah permasalahan dalam UU TPPU yang belum berhasil memulihkan aset kekayaan yang disembunyikan oleh pelaku kejahatan baik penggelapan pajak maupun pemindahan aset ke negara lain. Usman menambahkan, bahwa dapat juga dengan memastikan pengelolaan dana oleh pemerintah agar lebih terbuka dan pengelolaan data dapat lebih baik termasuk transparansi dari industri milik negara, membereskan birokrasi, memperbaiki kualitas partai politik, hingga memastikan pemerintah serta DPR untuk mewujudkan negara hukum yang berdasarkan Pancasila. (QF/KSU)
Editor : Tria Patrianti
Kampus A : Ciputat
Jl. K.H. Ahmad Dahlan,
Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan
- 021-7492862
- [email protected]
- Peta Alamat Kampus
Kampus B : Cempaka Putih
Jl. Cempaka Putih Tengah, Cempaka Putih, DKI Jakarta
- 021-4244016
- [email protected]
- Peta Alamat Kampus